Jr. Info
Kamis, 24 Desember 2009
Salut, dua jempol pantas diancungkan untuk Mendagri Gumawan Fauzi. Gebrakan spektakuler dan pro rakyat yang dilakukan mantan Gubernur Sumbar ini, nampaknya mulai membuka banyaknya borok-borok di daerah-daerah yang secara total seharunya dihapuskan. Peraturan daerah (Perda), atas nama otonomi daerah di era reformasi ini, membuat banyak aparat pemerintah dan pihak parlemen setempat salah kaprah dalam memproduksinya. Bahkan nggak sedikit pula yang melukai hati rakyat dan nggak pro terhadap nasib para pedagang.
Dihapuskannya sebanyak 400 (kalo gue nggak salah, ^_^) Perda bermasalah yang bertentangan dengan undang-undang, nggak pro rakyat dan investasi oleh Gumawan Fauzi, membuat lega banyak pihak. Walaupun ada segelintir orang yang ngerasa kehilangan “pemasukan”. Untuk di Riau sendiri, Perda retribusi tanda buah segar (TBS) sawit yang diberlakukan di Rokan Hulu, terpaksa “almarhum”. Perda ini dinilai menghambat kinerja pelaku usaha dan masyarakat. Atas nama pendapatan asli daerah (PAD), kini banyak Pemkab, Pemko dan Pemprov menerbitkan perda-perda yang isinya berisi pungutan-pungutan biaya. Baik kepada masyarakat serta para palaku usaha dan pihak investor.
Padahal PAD yang sejatinya digunakan untuk kesejahteraan rakyat ini, dalam kenyataan di lapangan banyak yang “lenyap” nggak tahu rimbanya. Malahan rakyat kian sengsara dengan Perda yang terkesan nggak adil dan melukai perassan tersebut. Perda-perda inilah yang menjadi incaran Mendagri.
Perda retribusi daerah, pungutan daerah, perizinan, penarikan pajak perkebunan dan lain-lain, kini tinggal menunggu waktu untuk dicabut nyawanya. Perda pungutan yang dinilai masyarakat seperti di zaman kompeni ini, salah satunya adalah Perda penarikan pajak 10 persen untuk semua usaha rumah makan dan restoran di Kota Pekanbaru.
Dari hotel berbintang hingga di kedai sudut-sudut gang dan jalan, kini di pajak Pemko Pekanbaru. Wajib setor 10 persen. Perda ini menuai protes dan aksi demonstrasi pedagang ke DPRD dan pemerintah. Namun protes warga seakan-akan nggak ditanggapi dan kini tetep berlaku. Coba dech kita pikirkan, wajarkah jika seorang pedagang nasi gerobak di tepi jalan, dipungut pajak 10 persen sama halnya dengan restoran mahal di mall dan hotel berbintang? Apakah ini yang dinamakan “Pemberantasan Kemiskinan”? kalo menurut gue sich ini namanya bukan pemberantasan kemiskinan, tapi “Membudidayakan Kemiskinan”.
Masyarakat kini menunggu. Apakah Perda ini ikut juga dicabut oleh Mendagri. Karna di lapangan, tuh Perda udah menjadi ajang “pemasukan” buat segelintir aparat, dan warga hanya dapet mengelus dada.
Dan pada akhirnya (ini mulu’ akhirnya ^_^ ), inikah yang dinamakan kesejahteraan?
0 Ocehan:
Posting Komentar