Jr. Info
Selasa, 17 November 2009
Sekali berbohong, maka kita akan teru-terusan melakukan kebohongan. Nggak mau terkungkung dalam perasaan bersalah yang berkelanjutan, saksi kunci kasus “kriminalisasi” KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), Ary Muladi, memilih berkata jujur.
Kepada Tim Independen Verifikasi Fakta (TIFV) atau Tim 8, Ary Muladi mengatakan nggak pernah menyerahkan uang Rp 5,1 Miliar kepada Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah maupun Deputi Penyidik KPK Ade Raharja. Ary juga nggak mengenal serta nggak pernah bertemu dengan ketiga petinggi KPK tersebut.
Bahkan atas pengakuannya tersebut, Ary meminta maaf kepada Bibit-Chandra, karna kebohongannya saat pertama kali diperiksa penyidik Mabes Polri, membuat Bibit-Chandra kini menjadi sengsara. Ary juga mengaku pernah diperkenalkan oleh Anggodo Widjojo kepada Kabareskrim Komjen Susno Duadji sekitar empat minggu sebelum ia ditahan 19 Agustus 2009.
Pengakuan Ary ini, sudah tentu semakin mempertegas adanya rekayasa atas kasus yang membelit awak KPK. Pengakuan tersebut sekaligus bisa mempertebal rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah saat ini.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tamagola menyatakan, jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan kasus Bank Century dan KPK versus Polri, maka kedua kasus tersebut akan terus bergulir menjadi Masaro Century Gate, yang bisa menumbangkan SBY dari kekuasaannya.
Gate, menurut Thamrin, memiliki banyak ciri, salah satunya melibatkan petinggi negara yaitu presiden, melibatkan orang dalam istana, dan selalu terbongkar dari masalah yang sepele. Dicontohkan, kasus Watergate Gedung Putih Amerika terkuak gara-gara polisi menangkap orang yang masuk ke dalam gedung Watergate tersebut. Di jaman Gus Dur, tukang pijat Gus Dur jadi Buloggate, sementara saat ini kasus asmara Rini juga menjadi pemantik kasus yang sedang membara saat ini.
Ciri lain gate, yakni saat kasus tersebut terbongkar, maka semua yang terlibat di dalamnya akan tergopoh-gopoh melakukan komunikasi intensif untuk membangun suatu rekayasa. Rekayasa tersebut sewaktu-waktu berubah karna panik. Selain itu, gate memiliki ciri adanya rekaman yang membuktikan kasus tersebut, di mana nggak ada keraguan di dalamnya.
Barangkali yang dapat diusulkan, agar kasus rekaman Anggodo ini nggak membesar, SBY perlu merombak sistem dan pergantian jabatan di tubuh Polri, Kejaksaan Agung, dan DPR sebagai proses jangka panjang untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Untuk langkah awal, sebaiknya SBY menganti Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Presiden harus berhati-hati memilih pengganti dua pucuk pimpinan lembaga penegak hukum itu. Penggantinya harus punya rekam jejak yang bersih dari korupsi, kredibel, dan profesional.
Hal lain yang juga bisa menambah citra buruk pemerintah saat ini adalah sikap Komisi III DPR yang diperlihatkan saat hearing dengan Kapolri dan jajarannya. Sikap Komisi III yang dinilai berlawanan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat, bisa membuat praduga bahwa anggota dewan “ hasil” koalisi memang susah untuk mengkritisi pemerintah.
Banyak pihak menilai, acara hearing tersebut merupakan komunikasi satu arah. Merupakan forum memberian panggung kepada Polri untuk pembelaan diri institusi dan anak buahnya. Tindakan DPR membuat rapat terbuka dengan Polri, kemudian memberikan tepuk tangan untuk Kapolri dan jajarannya, sama sekali bukan membela kepentingan rakyat, manum justru melawan.
Bisa saja DPR nggak kritis lantaran minimnya latar belakang informasi anggota DPR mengenai kasus Bibit dan Chandra. Namun kasus ini mencerminkan adanya polarisasi institusi produk reformasi dan orde baru. Kepercayaan masyarakat semakin menguat kepada lembaga produk reformasi seperti Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tipikor, dan KPK. Sebaliknya kepercayaan masyarakat justru menurun terhadap tiga institusi yaitu kepolisian, kejaksaan dan DPR, yang adalah produk orde baru.
0 Ocehan:
Posting Komentar