Jr. Info
Senin, 16 November 2009
Gajah bertarung melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Inilah gambaran yang saat ini tengah terjadi di tengah-tengah kita. Ketika dua kekuatan pembela hukum di tanah air sedang berselisih, maka rakyat yang akan menuai kesengsaraan. Dan sebaliknya, penjahat kera putih-lah yang akan diuntungkan.
Perseteruan kepolisian dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), jika diperpanjang nggak bakalan membawa manfaat bagi negara ini. Pemerintah justru akan menderita kerugian yang luar biasa.
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai, para koruptor telah diuntungkan dalam kasus perseteruan polisi dan KPK. Koruptor, saat ini, pasti akan tertawa lebar melihat para penegak hukum tidak lagi rukun.
Menurut Pukat, penahanan dua Wakil Ketua KPK (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, tidak masuk akal dan melemahkan Polri sebagai institusi. Keputusan polisi memperkuat ketidakpercayaan publik, bukannya membangun kepercayaan.
Pukat juga beranggapan, polisi menyalahgunakan wewenang, mengingat syarat subyektif penahanan sebagaimana Pasal 21 Ayat 1 Kitap Undang-Undang Hukum Acara pidana tidak terpenuhi.
Pasal 21 Ayat (1) mengatur penahanan tersangka atau terdakwa dilakukan lantaran kekhawatiran yang bersangkutan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana lagi. Ketiga kekhawatiran itu tidak tampak pada diri Bibit dan Chandra. Bagaimana mungkin jika orang yang sudah nonaktif dari jabatannya dapat menghilangkan barang bukti? Secara logika, hal itu nggak bakalan mungkn terjadi.
Yang mendesak dilakukan sebenarnya bukanlah penahanan terhadap dua petinggi KPK, namun mengungkapkan siapa saja yang berada di dalam rekaman yang menghebohkan tersebut. Karna rekaman itu menjadi sumber utama untuk mengetahui siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Di sisi lain, Presiden diharapkan tidak diam saja. Meski Presiden nggak bisa mencampuri proses hukum, setidaknya dia bisa masuk untuk meningkatkan profesionalitas para penegak hukum yang tengah bekerja.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar menegaskan, masalah Bibit dan Chandra adalah tanggung jawab SBY. Presiden harus menyelesaikan masalah ini, karna hal ini adalah masalah antar institusi, kepentingan jaksa, KPK dan kepolisian. Kalo diserahkan ke instansi nggak akan obyektif penyelesaiannya.
Turun tangannya Presiden, tentu bukan berarti intervensi. Harus dibedakan antara intervensi dan turun tangan. Kalo intervensi mengambil ahli langsung, sedangkan turun tangan tidak. Misalnya, Presiden meminta polisi bentuk tin independen untuk mengatasi masalah ini atau Presiden mendesak penyelesaian masalah ini dalam 1x24 jam.
Banyak pihak menyesali prnyataan SBY, yang hanya mengatakan prihatin atas kasus ini. Sikap keprihatinan bukan jalan keluar, tapi perlu pikiran, hati, dan jiwa untuk mengambil langkah konkrit guna menyelesaikannya.
Di sisi lain, Presiden sebaliknya juga tidak meremehkan dukungan tokoh dan masyarakat terhadap Bibit dan Chandra. Sebab, bila nggak mampu dibendung dan diredam, dukungan itu bisa berpotensi menjadi kekuatan rakyat (people power) yang besar. Dicontohkan, pada tahun 1986, kekuatan rakyat Filipina berhasil melengserkan Ferdinand Marcos dari kekuasaannya. Di Indonesia, mantan Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998 oleh kekuatan rakyat.
Belajarlah dari pengalaman, kekuatan rakyat nggak mungkin dihadapi dengan kekuasaan. Kalaupun kekuasaan efektif menghadapi kekuatan rakyat, maka hanya efektif memperlambat jatuhnya suatu rezim.
0 Ocehan:
Posting Komentar